Suatu hari, Dimas memutuskan untuk berdiskusi dengan salah satu kakak tingkatnya. Dalam percakapan tersebut, kakak tingkatnya memberikan saran untuk mempertimbangkan Naya, teman satu angkatannya. Meski Dimas dan Naya adalah teman seangkatan, hubungan mereka sebenarnya tidak terlalu akrab. Namun, Dimas percaya bahwa Naya memiliki potensi besar untuk mengisi posisi tersebut.
Setelah mendapatkan persetujuan dari kakak tingkatnya, Dimas memberanikan diri menemui Naya untuk menyampaikan maksudnya. Ketika mendengar niat Dimas, Naya terkejut. Ia merasa banyak mahasiswa lain yang lebih kompeten dan pantas mendampingi Dimas sebagai wakil ketua. Namun, teman-teman Naya justru mendorongnya untuk menerima tawaran tersebut. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Naya setuju menjadi wakil ketua.
Setelah kabar baik itu diterima, Dimas langsung mengunjungi kos Naya untuk membahas rencana kerja mereka selama satu tahun ke depan. Hari-hari berikutnya, keduanya semakin intens berdiskusi dan menyusun strategi demi mencapai tujuan organisasi.
Pemilihan ketua dan wakil ketua himpunan pun tiba. Dimas dan Naya berhasil menjawab semua pertanyaan dengan baik, menunjukkan kerja sama yang solid dan visi yang jelas. Pasangan ini akhirnya terpilih sebagai ketua dan wakil ketua untuk periode satu tahun ke depan.
Segera setelah resmi menjabat, mereka mengajak teman-teman angkatan mereka untuk bergabung sebagai pengurus himpunan. Dalam diskusi pertama, Naya mengusulkan nama untuk himpunan mereka: Irregular. Nama ini mencerminkan keunikan organisasi mereka, terutama karena jumlah anggota laki-laki lebih banyak daripada perempuan.
Dimas dan Naya menghabiskan banyak waktu bersama karena tanggung jawab mereka. Mereka bekerja keras membangun himpunan dan bahkan menetapkan peraturan baru, yaitu melarang anggota himpunan berpacaran dengan sesama anggota hingga masa bakti mereka selesai.
Namun, di balik kesibukan mereka, pertanyaan besar muncul: apakah Dimas dan Naya benar-benar tidak memiliki perasaan satu sama lain meskipun sering menghabiskan waktu bersama? Bagaimana dinamika hubungan mereka akan berkembang? Dan seperti apa serunya perjalanan himpunan ini dalam mewujudkan rencana-rencana yang telah mereka susun?
Kurang lebih gitu ya gess garis besar ceritanya, oke mari kita bicara tentang buku ini.
-
Font-nya enak banget di mata, ukurannya pas, terus tata letaknya rapi banget. Yang bikin makin gemas, judul tiap chapter dibikin kayak kop surat himpunan gitu. Jadi makin berasa vibes himpunannya. Keren banget, seriusan!
-
Dengan buku setebal ini, alurnya beneran nggak ribet. Penulisnya pintar banget nyusun cerita, jadi aku yang baca tuh santai aja ngikutin alurnya. Nggak ada tuh drama bingung sama siapa-siapa atau balik-balik halaman cuma buat ngecek detail. Pokoknya enjoy!
-
Oke, latarnya Bandung, tapi vibes sama obrolan anak-anaknya lebih ke gaya Jakarta. Mungkin karena mereka sering banget ngobrol mix Indonesia-Inggris, jadi kesannya nggak terlalu Sunda banget. Baru deh kerasa Bandung-nya kalau Ecan, Nana, sama tokoh-tokoh yang asli Sunda lagi kumpul. Btw, Chandra aja yang udah lama tinggal di Bandung masih suka bengong kalau ada yang ngomong pakai Bahasa Sunda. Tapi kalau dari sapaan “Akang” dan “Teteh”, itu udah cukup banget buat kasih gambaran latarnya di mana. Misalnya Nana yang sering banget manggil Naya “Teteh,” atau Ecan yang suka manggil seniornya “Akang.” Naya sendiri, walaupun orang Bandung asli, jarang ngobrol pakai Bahasa Sunda, apalagi kalau sama anak-anak yang bukan asli Bandung. Saran aja sih, kalau ada dialog Bahasa Sunda, mending dikasih catatan kaki di bawah. Soalnya meskipun kadang Naya suka bantu nerjemahin ke temen-temennya, kalau lagi nggak ada Naya yaudah bingung sendiri. Apalagi kalau Ecan sama Nana udah ngobrol, duh... nyundaaa pisan.
- Yang aku suka, nggak cuma fokus ke Dimas dan Naya, tapi tokoh-tokoh lain juga dapet spotlight. Ceritanya jadi seimbang, nggak ada yang terasa kelewat. Penulis ngenalin semua tokoh dengan detail banget, jadi semua terasa hidup. Nggak heran sih kalau bukunya tebel, tapi worth it banget buat dibaca! Dan seperti biasa, aku juga salfok sama tokoh lain. Di buku ini, aku jatuh hati sama Maraka. Dia tuh bener-bener “too good to be true.” Bahkan Naya aja bilang, “you’re too good to be single.” Aku setuju banget sama Naya! Jadi pacarnya Maraka tuh kayak dapet paket lengkap: pacar, sahabat, sama kakak. Udah kayak makan nasi goreng tambah karet dua, lengkap banget pokoknya.
- Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari buku ini, terutama pas bagian Naya ngobrol sama Dimas. Obrolan mereka tuh ringan, tapi deep banget. Kadang aku baru sadar dapet pelajaran penting setelah selesai baca percakapan mereka. Penulisnya bener-bener berhasil masukin pesan tanpa terasa berat. Keren banget!