Hi teman-teman! Kali ini aku mau nge-review karya lain dari Tenderlova. Buku yang hadir untuk melengkapi kisah sebelumnya ini berjudul Narasi 2021. Jadi, Narasi 2021 merupakan lanjutan dari Buku berjudul Tulisan Sastra, tapi point of viewnya aja yang berbeda. Untuk Narasi 2021, point of viewnya adalah tokoh bernama Adinata. Kalau Tulisan Sastra kan Sastra ya kalau ini tuh adek pas nya Sastra jadi adek pertamanya Sastra lah gitu. Nah di bawah ini aku nyantumin sinopsis yang ada di belakang novelnya.
Bulan juni datang lagi. Padahal sisa sisa juni tabhun lalu belum sepenuhnya selesal. Beberapa sedih dan sesal masih tertinggal dan membekas dengan jelas. Tapi setiap kali Nana mendongak dan menatap langit yang biru, la selalu merasa. "Aku pikir setelah dia perçi, dunia akan runtuh. Tapi ternyata langit masih tinggi. burung masih terbang dan waktu masih berlalu."
Tahun depan, bulan juni pasti akan datang lagi. Dan sebelum bulan itu datang lagi. Nana berharap, dia bisa menyelesaikan segala hal yang belum selesai.
BAGIAN KEDUA TULISAN SASTRA
Nah kurang lebih begitu sinopsis nya.. Jadi di dalam buku ini nyatanya, semua ingatan masih berpusat pada 'dia.' Dia yang tidak menyukai hujan, yang selalu enggan memakai jas hujan pink milik adiknya, yang tak pernah keberatan menghabiskan es kiko rasa anggur, dan yang mencintai dirinya sendiri lebih dari apa pun di dunia ini.
Dan entah kenapa harus selalu Adinata. Kenapa harus Sahara yang mengisi hatinya, padahal ada sosok seperti Gayatri atau Malika yang tak kalah baik. Kenapa harus ada Bumi, Rumpi, dan Magandhi yang hadir di tengah semua itu. Pertanyaan demi pertanyaan terus berputar di kepala Adinata, menuntut jawaban yang seharusnya sudah ia pahami jauh lebih cepat. Jika saja ia mengerti lebih awal, mungkin tidak akan ada ruang kosong yang membekas, tak perlu ada umpatan pada diri sendiri karena merasa kalah, dan tak ada alasan untuk kembali menyentuh luka yang sejatinya belum sembuh.
Ironi, memang. Semesta seolah menyusun skenario drama dengan akhir cerita paling memilukan. Adinata merasa ada sesuatu yang selalu melesat pergi setiap pagi datang. Bukan butir embun yang menggantung di dedaunan, tapi wajah 'dia' yang terus hadir lewat mimpi dari dimensi yang tak lagi sama. Layaknya kopi yang sempurna karena pahitnya, begitulah Adinata melihat kehidupannya pahit yang terukir dalam kehilangan sang Abang tercinta. Disini Adin sapaan akrab Adinata masih menyangkal kalau Abang yang dia anggap musuh nyatanya adalah Abang yang sangat amat menyayanginya, ia masih menyangkal bahwasanya Abangnya itu hanya pergi main dan gak pulang-pulang...
Oke mari kita mulai reviewnya :
-
Aku suka banget sama font yang dipakai, terutama buat judul di setiap chapter. Simpel tapi estetik, bikin nyaman dibaca. Aku juga senang banget karena ada daftar isinya, jadi lebih rapi dan gampang buat cari chapter. Ilustrasinya juga keren, makin nambah feel pas baca. Tapi ya, seperti biasa, typo masih ada sedikit di sana-sini.
-
Kalau di buku sebelumnya aku lebih banyak ketawa atau ngerasa relate, di buku ini rasanya beda. Dari awal sampai akhir, atmosfernya lebih sedih dan penuh kehampaan, sama persis seperti yang dialami Adinata.
-
Konflik yang diangkat dekat banget sama kehidupan sehari-hari. Mulai dari persahabatan, susahnya cari kerja, perjuangan bangkit dari kegagalan, sampai stereotip tentang pasangan hidup. Ada juga soal toxic parenting, pencarian jati diri, pentingnya peduli pada orang lain, mencintai diri sendiri, dan tentu saja kisah cinta yang penuh komplikasi.
-
Alurnya sebagian besar maju, jadi lebih mudah diikuti dan terasa natural.
-
Salah satu bagian favoritku adalah kisah kucing-kucingnya Jovan. Rasanya kayak baca The Traveling Cat Chronicles versi lokal, seru banget! Apalagi kalau Rinso lagi galau mikirin Bambang atau pas kangen sama Sastra. Obrolan random antara Rinso, Soleh, dan Molto juga kocak banget. Aku selalu nungguin scene mereka, sama kayak aku nunggu momen lucu dari Suyadi Bersaudara.
-
Petuah-petuah Pak Suyadi itu luar biasa! Selalu bikin hati hangat. Tapi bukan cuma dari Bapak, pesan dari tokoh lainnya juga nggak kalah inspiratif.
-
Bagian terbaik buatku adalah kisah tentang Bumi, Rumpi, dan Magandhi. Meski ada rasa sedih karena mengingatkan lagi pada sosok Sastra, tapi ada juga harapan yang muncul dari cerita anak-anak itu. Setidaknya mereka masih punya mimpi dan semangat untuk menjalani hidup yang lebih baik.
-
Analogi yang dipakai di buku ini bener-bener keren. Misalnya, analogi tentang sepatu. Awalnya aku pikir kata “cocok” dan “pas” itu sama aja, tapi setelah dianalogikan seperti sepatu, aku baru ngerti kalau ternyata beda. Ada juga analogi tentang kapak dan pisau cukur, serta pola asuh anak ala Pak Burhan. Semua analoginya sederhana tapi sangat mengena.
-
Diksi dan syair klasiknya juga nggak main-main. Contohnya di halaman 22 dan 70, itu indah banget. Setiap kata terasa pas, bikin hati bergetar.
-
Hampir semua chapter sukses bikin air mata jatuh. Bahkan saat Suyadi Bersaudara kumpul pun, auranya tetap sedih. Kebahagiaannya terasa nggak utuh, ada bagian yang hilang. Chapter “Kata Abang, Tidak Apa-apa untuk Bersedih” adalah yang paling bikin hati berat.
-
Penulis sangat detail dalam menggambarkan karakter tokoh, terutama melalui keyakinan yang mereka pegang. Hal ini bikin cerita terasa lebih hidup dan sangat relevan dengan latar Indonesia.
-
Banyak hal yang mengingatkanku pada kehidupan nyata saat membaca buku ini. Mulai dari nasihat yang bermakna sampai hal-hal kecil yang bikin senyum sendiri. Contohnya, Cetta yang les di hari Minggu. Langsung kebayang teman-teman yang waktu weekend-nya tetap diisi belajar.
Tentang mencintai diri sendiri, ini erat banget sama Sastra. Bahkan password laptop-nya aja bentuk apresiasi untuk dirinya sendiri. Dia tahu cara menjaga keseimbangan hidup dengan melakukan hal-hal yang dia suka, seperti main musik, berbuat baik, dan menikmati waktu bersama orang-orang yang dia sayangi.
Toxic parenting juga jadi salah satu tema yang dibahas dengan baik. Pola asuh yang nggak sehat memang bisa berdampak besar pada anak, dan penulis berhasil menyampaikan pesan itu dengan cara yang sangat realistis.
Soal pasangan hidup, ada bahasan menarik tentang konsep “mapan.” Aku setuju kalau mapan itu nggak selalu soal uang atau jabatan tinggi. Mapan lebih ke stabilitas, punya rencana jelas, dan siap menjalani proses. Contohnya Adinata yang sudah bisa mengatur keuangannya dengan baik untuk investasi dan dana darurat. Itu bentuk mapan yang sebenarnya.
Buku ini benar-benar aku rekomendasikan. Selain ceritanya menarik, pesan moralnya juga dalam dan menyentuh. Keluarga Suyadi ngajarin kita banyak hal, terutama tentang kebaikan dan rasa syukur. Jadi, itu pendapatku tentang Narasi 2021.
Sumber foto : https://pin.it/X4oyxXyVY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar