Hai teman-taman! Oke kali ini aku mau ngereview karyanya Windy Joana, berawal dari liat preview di akun X Kak Jo, berujung penasaran dan tergoda buat beli versi cetaknya dan jujur, nggak nyesel sama sekali!
Ceritanya bener-bener emosional, asli! Setiap lembaran masa lalu yang aku baca tuh bikin aku serasa masuk ke dalam dunia mereka, ikut ngerasain apa yang tokohnya rasain, dan ikutan nyari sesuatu yang hilang.
Yup, ini memang cerita fiksi, tapi dikembangin dari sejarah yang udah ada. Tentang makhluk langit yang diutus sama Dewata UsewaE (Tuhan Yang Maha Esa) buat turun ke bumi dan mendamaikan wilayah yang dia pijak To Manurung. Dalam kisah ini, Mabello sebagai sosok suci nggak lahir kembali lewat reinkarnasi kayak orang-orang di sekitarnya.
Sementara itu, Abel adalah sosok yang super setia, nungguin cintanya sampai akhirnya bisa bertemu lagi. Tapi bukan cuma soal cinta, Abel juga punya tujuan besar yang ingin dia capai dalam hidupnya.Tapi ya, manusia tetaplah manusia serakah, haus kekuasaan, dan cuma mikirin harta serta tahta. Aku bakal spil preview yang di tulis Kak Jo di akun X-nya..
Lontara, entah sekarang orang mengenalinya sebagai huruf dan aksara kuno Bugis Makassar, atau flora endemic Sulawesi selatan yang jaman dahulu daunnya digunakan seorang sastrawan besar sepanjang sejarah untuk menulis sebuah kitab yang menyingkap peradaban di masa itu?
Siapa yang tidak tahu Sureq La Galaligo mahakarya dari Suku Bugis dari Sulawesi Selatan yang sejak 2011 diakui sebagai warisan budaya dunia dalam bentuk pusaka dokumenter oleh UNESCO? La Galigo adalah epik tulis yang terpanjang di dunia dengan 300.000 baris teks dan mengalahkan Mahabrata dari India.
Kitab itu memuat banyak, ditulis dengan aksara lontara, isinya tidak hanya soal tata cara upacara adat disetiap perayaan besar seperti pesta panen dan pernikahan, La galigo juga memuat ribuan puisi indah, teks sejarah dan juga mitologi tentang manusia yang diutus dari langit untuk menghentikan kekacauan di dunia bawah, mengisi kekosongan kepemimpinan atau bahkan untuk melahirkan calon raja nantinya.
Mereka yang diutus Dewata UsewaE' (Tuhan yang maha Esa) itu disebut to manurung, orang yang diturunkan (dari langit), tidak ada asal usul kelahiran, tidak ada sanak keluarga, tidak ada yang mengetahui datang dan hilangnya. Mereka disebutkan sebagai sosok manusia Surgawi, teramat indah rupa dan lakunya, penuh bijak juga pandai, dimana mereka diturunkan maka disana akan ada kedamaian.
Bahkan menurut desas desus para to manurung itu immortal namun karena perintah dari Dewata UsewaE' mereka kemudian berbaur, kawin, menyatu dengan bangsa bawah hingga to manurung kehilangan kemampuan hidup panjang mereka, dan saat keturunan mereka lahir maka mereka mutlak jadi wangsa tanah dan bertambah usia.
“Ck!” Perempuan cantik itu mendecih, bibirnya begitu merah, hidungnya menjulang indah, tatapnya lembut namun tetap bisa dibuat tajam, rambutnya hitam legam terurai dan sesekali disibak ke belakang telinga hingga wewangian yang dikenakannya akan menyatu dengan udara dan terhirup nyaman beberapa orang di ruangan yang sama.
“Anak nakal ini jadi sastrawan besar? Ha, yang benar saja? Bukannya kerjanya hanya lari dari tugasnya sebagai putra mahkota dan lebih memilih bermain sabung ayam dengan teman-temannya? Ia bahkan tidak pernah jadi raja.”
Ia mengoceh dengan nada pelan hampir seperti berbisik setelah manuskrip La Galigo yang disimpan di perpustakaan Universitas Leiden dengan teknologi konservasi khusus naskah kuno berada dihadapannya, mengabaikan beberapa peneliti yang sedang berdebat, sebenarnya hanya perdebatan ringan tentang isi la galigo sampai suara berat seorang peneliti lain menyita atensinya.
“Bagaimana mungkin sebuah kerajaan dimulai dari orang turun dari langit? To manurung itu, menurut saya hanya mitologi.”
Sosok laki-laki itu berdiri tepat di sebelahnya, melipat tangan dengan santai dan mengangkat sebelah bibirnya, ada tahi lalat tepat di bawah salah satu matanya, ia berahang tegas juga berhidung bagir. Rasanya sosok itu familiar.
“Tapi la galigo bilang mereka ada.” Si perempuan berani menyahut.
Mungkin si hidung bangir itu salah satu tim yang ditugaskan Indonesia untuk menerjemah juga meneliti sama seperti dirinya. Mereka ada di sini untuk program digitalisasi naskah kuno itu agar bisa diakses lebih mudah untuk bahan pengajaran dan penelitian dimasa depan.
“Kenapa harus melibatkan langit? Apa Dewata UsewaE' tidak mempercayai orang biasa untuk memimpin sebuah kerajaan?”
Pembahasan yang menarik, entah sudah berapa lama si perempuan tidak berdebat. Ini bukan soal pemikiran kritis lawan bicaranya saja, tapi ada sesuatu yang magis menariknya untuk melajutkan percakapan ini layaknya teman lama yang sudah saling menanti.
“Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo yang diawali dengan krisis sosial, dimana orang saling memangsa laksana ikan, siandre bale kalau kata sureq La galigo,”
Perempuan itu menjelaskan dengan tutur lembut, nada yang jarang mampir ke telinga si hidung bangir. Padahal ia yang ahli sejarah, mengapa harus mendengar cerita ini dari mulut seorang sastrawan yang ujung-ujungnya akan ia anggap dongeng nantinya?
“Kerajaan Makassar kemudian terpecah menjadi Gowa dan Tallo, pun kerajaan Soppeng juga sama, Bone juga begitu tatanannya berantakan sampai empat to manurung diutus, satu di Makassar, dua di Soppeng, satu lagi di Bone untuk membereskan kekacauan itu. Makassar dan Tallo menyatu lagi, pun Soppeng riaja (timur) dan rilau (barat) hanya jadi Soppeng, Bonepun berkembang lalu Wajo...”
Kalimat sang perempuan menggantung mengundang rasa penasaran si laki-laki.
“To Manurung tidak diturunkan di sana?” Tanyanya (tidak) penasaran karena sudah tahu jawabannya.
“Kamu pasti tahu kalau dalam sejarah yang tercatat, Wajo satu-satunya kerajaan yang tidak tidak mengenal sistem to manurung sebagaimana kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pada umumnya,”
Jujur saja bulu kuduk si hidung bangir itu meremang padahal ia sudah mengetahuinya dan menganggap warga Wajo saat itu hanya cerdas karena tidak termakan dengan politisasi dengan kedok manusia setengah dewa yang jaman itu sebut to manurung.
“Wajo hanya dipimpin laki-laki hebat, ia pintar dalam segala hal, kuat juga bijak,” Perempuan itu tersenyum ditengah ceritanya seolah ia benar-benar mengenal raja Wajo saat itu.
“Tipe Kerajaan mereka bahkan bukanlah feodal murni, tetapi kerajaan elektif atau demokrasi terbatas dimana rakyat diwakilkan untuk bersuara langsung pada raja dan ia... wangsa tanah, manusia murni, bukan keturunan langit.”
“Tidak adil.” Sahut si hidung bangir.
“Hm?” Kening si perempuan mengerut bingung.
“Kenapa hanya Wajo yang tidak diberikan to manurung untuk mengurus kerajaan?”
Gelengan kepala perempuan itu jadi bukti ia cukup kewalahan menghadapi si hidung bangir.
“Loh kamu tadi nanya kenapa Dewata UsewaE' tidak percaya orang biasa untuk memimpin? Makanya saya jawab ada satu kerajaan yang tidak punya sistem to manurung, ya anggap saja Dewata UsewaE' percaya.”
“Tapi... siapa raja hebat itu?”
Pertanyaan itu keluar dari hatinya, padahal kepalanya sudah hafal mati urutan raja-raja Wajo dari raja yang masih berkedudukan danau Lampulungeng, pindah ke Boli, lalu Cinnotabi dan akhirnya menjadi Wajo.
“Gelarnya puangnge ri lampulung, raja yang menyatukan. Tapi namanya aslinya Sailendra.”
Sekali lagi perempuan melirik naskah La Galigo di hadapannnya lalu memutuskan berbalik sebab menaruh penasaran tentang sosok yang sedari tadi mengajaknya berbincang karena dari awal ia hanya melihat bagian samping pemuda itu saja.
Saat berbalik yang pertama ia pandang adalah mata sang pemuda yang tiba-tiba berarir, bibirnya yang kaku gemetar, dan perasaan aneh di dadanya yang kini berdegup penuh talu.
“Are you okay?” Ia benar-benar khawatir.
Si hidung bangir mengangguk.
“Rasanya aneh waktu kamu sebut nama itu, rasanya ada sesuatu dalam diri saya yang ingin melompat dan dada saya sakit, sesak ingin menangis. Apa karena nama saya juga Sailendra?”
Bergantian kini si perempuan yang meremang, ia bersusah payah meneguk salivanya sendiri, tangannya tiba-tiba gemetar dan segala inderanya dibuat mati.
“Bagaimana kalau saya bilang juga ada to manurung yang diturunkan di Wajo?” Sambar si perempuan.
Kini mata mereka sama berkaca, saling menatap seolah dibalik netra masing-masing ada rahasia Dewata UsewaE'.
“Tapi karena egoisme Wangsa Tanah, ia yang seharusnya memimpin dan melahirkan raja-raja Wajo selanjutnya malah diusir pergi dan harus hidup sendiri begitu lama. Tidak diperjuangkan bahkan oleh laki-laki yang harusnya jadi takdirnya...”
Air mata mereka sama-sama lolos.
“Daeng?” (Kakanda)
Laki-laki itu benar bernama Sailendra, tepatnya Sailendra Nagara Wijaya berusia 28 tahun, seorang sejarawan juga dosen muda di sebuah universitas Negeri di Sulawesi Selatan.
Sedangkan perempuan itu sastrawan ahli naskah kuno bernama Ma Bello Cantika Manurung... ia sendiri sudah lupa dengan jumlah usianya.
Seingatnya baru kemarin ia menuliskan sebuah surat perpisahan diatas daun lontara untuk laki-laki yang ditakdirkan Dewata UsewaE' menjadi teman susah senangnya membagi kasih hingga tua dan mati.
Pimpinlah Wajo, ambillah sifat kasih Dewata, hiduplah dengan baik, punyalah banyak keturunan yang akan kelak mewarisi kerajaan ini. Aku memang titisan langit, namun aku akan tetap membumi menunggu mu menjalin takdir kita kembali. Aku sayang pada mu... Daeng (kakanda).
Lontara, itu bukan hanya aksara, bukan hanya media perantara, ia juga saksi sebuah sejarah dan kutukan cinta.
Itulah preview yang di tulis Kak Jo di akun X nya, bayangin kalian baca itu kek pasti mikir 'hah gimana?' kalau enggak gini 'nanggung banget, kurang panjang' tapi apa katanya Kak Jo. Gak bakal di tulis di X langsung di novelin, NAHHH GIMANA PERASAAN KALIAN, udah mati penasaran sama ceritanya malah gak di up di akun X langsung di jadiin novel. Gimana hati mongel aku tidak meronta-ronta untuk membeli. Dan berakhir aku belii, dan gak nyesel soalnya baguss bgt. Oke ayo kita mulai...
“Lontara bukan hanya sekadar aksara, bukan hanya media perantara. Ia juga saksi sebuah sejarah dan kutukan cinta.”
Begitu kata Windy Joana, tertulis rapi di halaman kedelapan dan di sampul belakang novel itu. Kalimatnya kayak ngebuat kita sadar betapa dalam dan sakralnya keberadaan Lontara dalam kisah cinta dua orang ini. Sejoli yang udah saling mencintai sejak 15 Masehi sampai sekarang. Kedengerannya sih, kayak cerita yang mustahil banget kalau dilogikin, tapi anehnya, kisah ini nyata.
Mabello ingat semuanya, meski hanya dia yang tau. Sampai akhirnya di tahun 2022, dia jadi filolog dan lulus dari Sastra Daerah. Saat lagi sibuk ngedigitalisasi Sureq Galigo di Belanda, dia gak nyangka bakal ketemu Sailendra. Puange ri Lampulung yang ternyata lahir lagi jadi ahli sejarah.
Pertemuan mereka, yang dibawa oleh naskah Lontara setelah ribuan tahun penuh rasa sakit buat Mabello, ngebuat banyak pertanyaan muncul. Apakah takdir mereka bakal terulang dan jadi lebih baik, terus akhirnya bersatu? Rasanya nggak semudah itu. Mungkin bisa jadi malah makin rumit.
Buku ini, yang sampulnya hijau banget, ngajak pembaca buat ngulang lagi sejarah Sulawesi Selatan. Lewat cerita-cerita dalam karya sastra terpanjang di dunia, penulis ngenalin budaya Bugis Makassar yang mungkin sekarang udah mulai asing, bahkan buat orang yang asli suku itu. Gabungan antara sejarah, reinkarnasi, dan kisah cinta pahit di novel Windy bener-bener bikin pembaca terpesona bahkann aku pun juga. Sampai susah banget buat berhenti baca dan ngelewatin halaman-halamannya.
Buku ini tuh juga penuh plot twist sampe aku aja tiap ganti halaman mesti gini 'Hah yang bener?' 'kok bisa gitu' ' Lah.. diaa kannn.. ' pokok gitu deh. Serius, buku ini super duper nagih. Kalimat yang dituliskan di sini, selalu berhasil bikin aku merinding dan kayak beneran di seret masuk, jadi tuh aku serasa liat mereka beneran kayak ada di tengah-tengah mereka *sueeer* sejarah tentang La Galigo yang bahkan belum pernah aku dengar pun malah bikin aku penasaran setengah mati. Jadi simpulannya buku ini rekomendasi banget nget nget kek baguss bgt woyyy 😭😭 udah segitu aja dari aku, kalau kalian penasaran banget beli ya teman-teman heheh.
Sumber foto : https://images.app.goo.gl/xbbbXWQcWLV1UCb17